PENYEDIAAN GURU
Di Indonesia seperti juga banyak
di banyak Negara, guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia
dini pada jalur pendidikan formal. mereka diangkat sesuai dengan peraturan
regulasi yang berlaku dilingkungan pemerintahan, penyelenggara, atau satuan
pendidikan. Mereka yang diangkat sebagai guru merupakan lulusan lembaga
penyedia calon guru.
Berkaitan dengan guru, Undang-undang
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No.74 Tahun
2008 tenteang guru telah menggariskan bahwa hasil itu menjadi kewenangan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai
penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini,
lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang
diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelengarakan program pengadaan guru pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau
pendidikan menengh, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan non-kependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki
kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik.
Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh Negara sebagai
guru professional. Pada sisi lain,baik UU No. 14 Tahun 200entang Guru dan Dosen
maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang
berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi
syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakn lulus
pendidikan profesi. Pada sisi lain, dua produk hukum ini menggariskan bahwa
peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin
didasari atas kuota kebutuhan formasi.
Beberapa amanat penting yang dapat
disadap (diterima) dari dua produk hukum ini. Pertama, calon peserta
pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik
bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan
ditetapkan oleh masyarakat. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru
harus dilakukan secra objektif, transparan, dan akuntabel.
Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap
tahun ditetapkan oleh Menteri. Kelima, program pendidikan profesi
diakhiri dengan uji kompetensi pendidik. Keenam, uji kompetensi pendidik
dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar
kompetensi.
Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang
mencakup penguasaan:
(1) Wawasan atau
landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum
atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar;
(2) Materi pelajaran
secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok
mata pelajaran dan program; dan
(3) Konsep-konsep
disiplin keilmuwan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi
pelajaran. kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk
ujian praktek pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Jika regulasi ini dipatuhi secara
taat asas, tidak ada alasan calon guru pada sekolah-sekolah di Indonesia
berkualitas di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkrut
untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negeri sipil (PNS) guru,
mereka belum bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakan kaki pertama kali
dikampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang
disebut dengan induksi. Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru
akan dibimbing dan dipandu oleh mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu
tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional. Ini pun tentu
tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nunjauh
di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang tersedia
dan bersedia menjadi mentor.
Jadi, dari pernyataan-pernyataan
diatas dapat dipahami bahwa penyediaan guru di Indonesia belum maksimal. Karena
masih terdapat guru yang kurang memenuhi kualifikasi terutama di
sekolah-sekolah pelosok. Kalaupun ada calon guru yang sudah memenuhi sayarat
akademik itupun juga masih ada yang belum langsung bisa bertugas penuh.
Melainkan masih harus memasuki fase prakondisi atau induksi.
INDUKSI GURU PEMULA
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP
No. 74 Tahun 2008 seperti dimaksudkan di atas mengisyaratkan bahwa ke depan,
hanya lulusan S1/ D-IV yang memiliki sertifikat pendidiklah yang akan direkeut
menjadi guru. Namun demikian, sunggupun guru yang direkrut telah memiliki
kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk hukum
dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, ternyata masih diperlukan
program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar
professional. Memang, pada banyak literature akademik, program induksi diyakini
merupakan fase yang harus dilalui ketika seseorang dinyatakan diangkat dan
ditempatkan sebagai guru. Program induksi merupakan masa transisi bagi guru
pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia pertama kali menginjak
kaki di sekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak dilepas untuk
menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.
Kebijakan ini memperoleh legitimasi
akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim dilakukan di banyak Negara.
Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru dikampus, ketika menghadapi
realitas kehidupan dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar bukan
hanya berkaitan dengan materi apa yang akan di ajarkan dan bagaimana
mengajarkannya, melainkan semua subsistem yang ada di sekolah dan di masyarakat
ikut mengintervensi perilaku nyata yang harus ditampilkan oleh guru, baik
didalam maupun di luar kelas.
PROFESSIONAL GURU BERBASIS LEMBAGA
Ketika guru selesai menjalani proses
induksi dan kemudian secara rutin keseharian menjalankan tugas-tugas
profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan
profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus menerus agar
guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan
kurikulum serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi
pembinaan dan pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas
prakarsa institusi, seperti pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi
banding, dan lain-lain adalah penting. Prakarsa ini menjadi penting, karena
secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan, baik finansial, jaringan,
waktu, akses, dan sebagainya. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah
prakarsa personal guru untuk menjalani profesionalisasi.
Kegiatan pembinaan dan pengembangan
itu dilaksanakan secara sistematis dengan menempuh tahapan-tahapan tertentu,
seperti analisis kebutuhan, perumusan tujuan dan sasaran, desain program,
implementasi dan deliveri program, dan evaluasi program. Ini berarti bahwa
kegiatan pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru secara
berkelanjutan harus dilaksanakan atas perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan evaluasi yang sistematis.
Aktivitas-aktivitas pengembangan
guru tersebut memiliki temali satu sama lain. Pada fase perencanaan, fokus
perhatian terpusat pada kebutuhan akan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan
pengembangan apa yang diperlukan bagi guru. Penentuan jenis kegiatan pendidikan
dan pelatihan ini didasari atas diagnosis mengenai masalah dan tantangan yang
dihadapi oleh guru dan satuan pendidikan saat ini, serta kemungkinannya di masa
depan, termasuk kemungkinan perubahan kebijakan dan strategi kerja
keorganisasian.
Tujuan dan sasaran pendidikan dan
pelatihan guru ditetapkan dengan mencerminkan kondisi yang diingini, sekaligus
menjadi ukuran keberhasilan program itu. Perumusan tujuan dan sasaran ini akan
menjadi acuan dalam menentukan substansi dan pelaksanaan program, dengan titik
tekan pada upaya memenuhi kebutuhan guru dan satuan pendidikan secara nyata.
Evaluasi program dimaksudkan untuk menentukan tingkat keberhasilan
kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan yang dilakukan, serta
kelemahan-kelemahan selama proses penyelenggaraan. Hal ini akan menjadi umpan
balik bagi perencanaan program pengembangan yang lebih efektif dan efisien.
Pendidikan, pelatihan, dan
pengembangan merupakan proses yang ditempuh oleh guru pada saat menjalani
tugas-tugas kedinasan. Kegiatan ini diorganisasikan secara beragam dan
bersprektrum luas dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi, keterampilan,
sikap, pemahaman, dan performansi yang dibutuhkan oleh guru saat ini dan di
masa mendatang. Di banyak negara, saat ini berkembang
kecenderungan-kecenderungan baru dalam pembinaan dan pengembangan tenaga
kependidikan, terutama tenaga guru. Kecenderungan-kecenderungan baru dimaksud
adalah:
- Berbasis pada program penelitian
- Menyiapkan guru untuk menguji dan mengases kemampuan praktis dirinya
- Diorganisasikan dengan pendekatan kolegalitas
- Berfokus pada partisipasi guru dalam proses pembuatan keputusan mengenai isu-isu esensial di lingkungan sekolah
Membantu guru-guru yang dipandang
masih lemah pada beberapa aspek tertentu dari kompetensinya. Dengan demikian,
kegiatan ini merujuk kepada peluang-peluang belajar (learning opportunities)
yang di desain secara sengaja untuk membantu pertumbuhan profesional guru.
Lebih spesifik, ia dimaksud untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi
pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, bahkan dapat dilakukan sebagai
wahana promosi bagi guru.
PROFESSIONAL GURU BERBASIS INDIVIDU
Realitas membuktikan, hanya sebagian
kecil guru memiliki peluang menjalani profesionalisasi atas prakarsa institusi
atau lembaga. Untuk indonesia, data statistik menunjukkan bahwa setiap tahunnya
hanya sekitar 5 persen guru yang berpeluang mengikuti aneka program
pengembangan yang dilembagakan sejenis penetaran atau pelatihan
dilembaga-lembaga pelatihan atau lembaga sejenisnya. Ini berarti dalam waktu
sekitar 20 tahun, masing-masing guru hanya berpeluang mengikuti 1 kali
mengikuti program pengembangan profesi yang dilembagakan, bukan atas inisiatif
sendiri. Itupun dengan asumsi bahwa akses guru mengikuti program dimaksud
bersifat dibagi rata.
Kenyataan dilapangan, begitu banyak
guru yang sama sekali tidak memiliki akses mengikuti program pendidikan,
pelatihan, dan pengembangan secara lembaga, kecuali pada saat mereka menempuh
pelatihan prajabatan dari calon PNS ingin menjadi PNS penuh. Menghadapi
realitas ini, kalau guru mau tetap eksis pada profesi dengan derajat
profesional yang layak ditampilkan, tidak ada pilihan lain dia harus melakukan
profesionalisasi secara mandiri yang dalam buku ini disebut sebagai guru
profesional madani atau guru profesional.
Untuk menjadi guru profesional,
perlu perjalanan panjang. Diawali dengan penyiapan calon guru, rekrutmen,
penempatan, penugasan, pengembangan profesi dan karir, hingga menjadi guru
profesionalsebenarnya, yang menjalani profesionalisasi secara terus-menerus.
Guru semacam inilah yang kelak akan menjelma sebagai guru profesional. Edy
suharto mengemukakan masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis
dimana anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan
pendapatr dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Istilahnya
masyarakat madani nesensinya merupakan lawan dari tradisi struktur yang menekan
kebebasan dan hak demokrasi warga negara.
Merujuk pada referensi berpikir di
atas, guru profesional sesungguhnya adalah guru yang didalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompensasi secara khomphrensif
dan daya intelektual tinggi. Kata otonom mengandung makna, bahwa guru
profesional adalah mereka yang secara profesional dapat melaksanakan tugas
dengan pendekatan bebas dari intervensi kekuasaan atau birokrasi pendidikan.
Dengan demikian, guru harus menjadi profesional sebenarnya untuk bisa tumbuh
secara madani. Guru profesional melebihi batas-batas yang dimiliki oleh guru
profesional yang banyak dibahas dalam literatur akademik.
Guru profesional adalah mereka yang
memiliki kemandirian tinggi ketika berhadapan birokrasi pendidikan dan
pusat-pusat kekuasaan lainnya. Mereka memiliki ruang gerak yang bebas sebagai
wahana bagi keterlibatannya dibidang pendidikan dan pembelajaran, pengembangan
profesi, pengabdian masyarakat dean kegiatan penunjang lainnya. Guru
profesionalpun memiliki daya juang dan energi untuk mereduksi secara
kuatmunculnya kuasa birokrasi pendidikan, kepala sekolah dan pengawas sekolah
atas hak dan kewajibannya. Merekapun bebar beralifiasi kedalam organisasi
sebagai wahana perjuangan, pengembangan profesi dan penegakan independensi
sebagai “pekerja” yang memiliki atasan langsung. Dengan demikian, dari sisi
kepribadian untuk tumbuh menjalani profesionalisasi, ciri-ciri umum guru
professional antara lain:
- melakukan profesionalisasi-diri,
- memotivasi diri,
- memiliki disiplin diri,
- mengevaluasi diri,
- memiliki kesadaran diri,
- melakukan pengembangan diri,
- menjadi pembelajar,
- melakukan hubungan efektif,
- berempati tinggi, dan
- taat asa pada kode etik
Guru profesional memiliki arena
khusus untuk berbagi minat, tujuan, dan nilai-nilai profesional serta
kemanusiaan mereka. Dengan sikap dan sifat semacam itu, guru profesional
memiliki kemampuan melakukan profesionalisasi secara terus-menerus,
memotivasi-diri, mendisiplinkan dan meregulasi diri, mengevaluasi-diri,
kesadaran-diri, mengembangkan-diri, berempati, menjalin hubungan yang efektif.
Guru profesionalpun adalah pembelajar sejati dan menjunjung tinggi kode etik
dalam bekerja. Sejalan dengan uraian sebelumnya, guru profesional bercirikan
sebagai berikut :
1) Mempunyai kemampuan profesional dan siap diuji atas kemampuannya,
2)
Memiliki kemampuan berintegrasi antarguru dan kelompok lain yang “seprofesi”
dengan mereka melalui kontrak dan aliansi social,
3) Melepaskan diri dari belenggu kekuasaan birokrasi, tanpa menghilangkan makna
etika kerja dan tata santun berhubungan dengan atasannya,
4) Memiliki rencana dan program pribadi untuk meningkatkan kompetensi dan gemar
melibatkan diri secara individual atau kelompok seminar untuk merangsang
pertumbuhan diri,
5) Berani dan mampu memberikan masukan kepada semua pihak dalam rangka perbaikan
mutu pendidikan dan pembelajaran, termasuk dalam penyusunan kebijakan bidang
pendidikan
6) Siap bekerja secara tanpa diatur, karena sudah bisa mengatur dan mendisiplinkan
diri sendiri
7) Siap bekerja tanpa disuruh atau diancam, karena sudah bisa mengatur dan
memotivasi dirinya
8) Secara rutin melakukan evaluasi diri untuk mendapatkan umpan balik demi
perbaikan diri
9) Memiliki empati yang kuat
10) Mampu berkomunikasi secara
efektif dengan siswa, kolega, komunitas,sekolah, dan masyarakat
11) Menjunjung tinggi etika kerja
dan kaedah-kaedah hubungan kerja
12) Menjunjung tinggi kode
etik organisasi tempatnya bernaung
13) Memiliki kesetiaan
(loyalitas), dan kepercayaan (trust), dalam makna tersebut mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri
14) Adanya kebebasan diri
dalam beraktualisasi melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
Editing : http://imusmus.blogspot.com/
Sumber http://profesikependidikan.wordpress.com/2012/06/04/ranah-pengembangan-keprofesian-guru/
0 komentar:
Posting Komentar